20 Apr 2011

Tugas Dasa-Dasar Intervensi


Dalam masyarakat yang pluralis, seks dapat dimakna secara variasi sebagai sebuah petualangan dewasa, komoditas yang bisa dijual, sebuah kumpulan teknik, perwujudan secara fisik dari intimasi, sacral dan suci, dan metode dari reproduksi. Dimana model perilaku dari terapi seks, seperti contoh dari Master and Johnson, dan model medis, dengan obat seperti Viagra, kesulitan seksual sebagai disfungsi yang membutuhkan “perbaikan”, model yang sistemik mengintegrasi pengalaman dengan fungsional, dan menujukan hubungan antara intimasi dengan seksualitas. Sigmund freud menemukan bahwa seksualitas dimulai pada masa kecil, bukan pada masa pubertas. Dan hipotesisnya bahwa seksualitas secara intrinsik terhubung pada perkembangan kepribadian (Leilblum & Pervin, 1980). Awal abad 20 seksologis asal Inggris Henry Havelock Ellis dan asal Amerika Alfred Kinsley mempertanyakan konteks intitusional tradisional dari seksualitas manusia (pernikahan dan keluarga), ada legitimasi sebuah eksistensi dari seksualitas perempuan dan meluaskan rentang dari perilaku seksual yang dapat diterima secara sosial. Pada tahun 1950, terapis mulai menggunakan terapi aversi (avertion therapy) untuk mengobati perilaku seksual yang menyimpang. Terapi seks merupakan pusat dalam menkontrol pengalaman seksual, dari tekanan masturbasi pada anak-anak dan orang-orang yang terpenjara dalam “godaan seksual  termasuk homoseksual, dan untuk menemukan cara memperkecil seringnya hubungan seksual terjadi (Leiblum & Pervin, 1980). Akhir 1950, terapis mengasumsi bahwa sebuah kesukaran seksual adalah respon kecemasan yang terkondisikan, untuk mematikan kecemasan atau tuntutan perbuatan (LoPicollo &LoPicollo,1978) mengunakan teknik seperti desensitisasi yang sistematis (Lazarus, 1963).
Disfungsi seksual merupakan problem pernikahan yang sangat umum, dan satu itu sering dilupakan dalam treatment permasalahan pasangan. Dalam sebuah studi terhadap 750 pasangan yang mendapatkan terapi pernikahan, Greene (1970) menemukan bahwa 80% tidak puas secara seksual, Sager (1976) megestimasi bahwa 75% dari pasangan yang menerima terapi pernikahan mengalami masalah disfungsi seksual. Dalam sebuah sampel terhadap 142 pasien keluarga, Moore and Goldstein (1980) mempelajari bahwa 21% mengidentifikasi sebuah masalah dengan hasrat seksual. Dalam sampelnya, 13% melaporkan tidak bisa mencapai orgasme, 13% mengindikasikan pasangan mereka memiliki ejakulasi dini dan 13% memiliki pengalamna dyspaurenia. Master and Johnson’s telah mengestimasi bahwa 1 dari 2 pasangan bergelut dengan disfungsi seksual. Sangat benar bahwa beberapa problem seksual berasal dari perpecahan rumah tangga. Banyak dari pasangan melihat terapi seks juga sebagai terapi perkawinan, dimana menggunakan terlebih dahulu pada memfokuskan disfungsi seksual. Bagaimanapun dalam banyak hal, disfungsi seksual tidak akan memutuskan mereka sekalipun meningkatnya hubungan pernikahan. Anderson dan Rubenstein (1978) mempresentasikan hasil studi yang diambil dari orang yang berpendidikan tinggi, kulit putih, pasangan middle-class, relawan dari gereja dan komunitas grup dimana terlibat dalam terapi. Pasangan merasa bahwa pernikahan mereka berjalan dan secara jelas diatas rata-rata kepuasan dalam pernikahan dibandingkan dengan populasi secara umum (83% menganggap pernikahan mereka “sangat bahagia” dan “bahagia”). Meskipun tingkat kebahagiaan pernikahan tinggi, 63% perempuan dan 40% laki-laki menyatakan mengalami disfungsi seksual dan “kesukaran” seksual dijelaskan oleh 77% perempuan dan 50% laki-laki. Diantara perempuan tersebut, 48% mengalami kesukaran mendapatkan kepuasan seksual, 33% mengalami kesukaran memelihara kepuasan, 46% mengalami kesukaran mencapai orgasme, dan 1500 tidak memungkinkan untuk mendapatkan pengalaman orgasme. Diantara laki-laki, 9% menyatakan mengalami kesukaran memelihara ereksi, 36% mengalami ejakulasi dini, dan 45% mengalami kesukaran untuk ejakulasi. Dalam hal “kesukaran” seksual 47% perempuan dan 12% laki-laki tidak bisa relaks selama kegiatan seksual. 35% perempuan dan 16% laki-laki mengekpresikan ketidaktertarikan dalam seks, dan 28% perempuan dan 10% laki-laki menggambarkan mereka “turned off”. The Frank et al mengilustrasikan bahwa disfungsi seksual tidak selalu menyebabkan gangguan secara luas terhadap segala hubungan dan ketidakpuasan dalam pernikahan. Beberapa pasangan secara suskes dapat mentoleransi problem seksual mereka dengan tidak mengisolasi hubungan mereka sehingga tidak terjadi hubungan yang dingin. Bagaimanapun, intimasi seksual dan pemenuhan adalah penting dan bernilai bagi banyak pasangan.
Sex As Problem : A treatment Model
Seorang laki-laki mengharapkan dapat mengatasi ejakulasi dini, perempuan mengalami kesulitan  meraih orgasme atau merasa mendapatkan hasrat dari suami. Sebuah pasangan memiliki perbedaan nafsu seksual, Terapi akan menganggap sukses jika dan ketika pasangan meraih hasil yang spesifik secara seksual. DSM-IV, secara esensial adalah sebuah system klasifikasi medis, pendekatan sex secara alami dari sebuah perspektif problem. Antara lain adalah disfungsi seksual (Sexual Desire Disorder, Arousal Disorders, Orgasmic Disorder, dan Sexual Pain Disorder), Parapillis (Fetishim, Pedophilia, Masochism dan Sadochism), dan Gender Identity Disorder in Children, Adolescents or Adults.  Ketika terapi berfokus pada pemecahan symptom, pendekatan khas cognitive-behaviour yang mencari insiden trauma seksual dan kesalahpahaman, memfokuskan pada emosi yang meyakitkan melalui pola yang telah menjadi terasosiasi dengan seks dan secara khusus, membangun kemampuan seksual yang baru. Goal-oriented solusi untuk problem seksual dapat dilihat sebagai sebuah treatment model.
Realizing Sexual Potential : An Enrichment Model
Beberapa seksologis telah berpindah dari fokus sempit pada kurangnya seksual manusia dan tekanan pada mendefinisikan dan melakukan treatment pada problem perilaku seksual dan menuju investigasi yang lebih luas dari potensi human sexual. Bagi Schnarch (1991), kemampuan untuk berfungsi secara bebas dan masih terlibat secara emosi, factor kunci dalam self differentiation memungkinkan individu menjadi tertutup tanpa menyatu., dan memungkinkan untuk memenuhi hubungan seksual dalam sebuah pernikahan. Titik berat pada sexual enrichment adalah pergeseran fokus dari meraih level tertentu pada performance untuk merekognisi dan mempertahankan kualitas kepuasan secara mendalam pada experience.

Sexual Issues in Personal Development: A Growth Model
Dalam sebuah hubungan, ketika cinta dan seksualitas gagal untuk terintegrasikan, sebuah elemen penting dari intimasi telah menghilang. Pada tingkat yang lebih pribadi, kurangnya kemudahan dengan satu seksualitasnya memungkinkan mengurangi kesehatan dan vitalitas. Wilhem Reich telah mengamati, represi seksual juga membentuk tubuh orang dewasa (1961). Mengembangkan kesadaran seksual yang lebih besar dapat memiliki efek pada membantu  membebaskan diri dengan penuh semangat pada tubuh. A Growth model menggabungkan treatment dan enhancement, tetapi lebih dari keduanya. Self-discovery dan membebaskan dari perkembangan yang ditahan adalah comerstones of growth.

Extratherapeutic Factors : peran dari klien dan chance change-producing events.
Merupakan satu-satunya contributor terbesar untuk perubahan dan merujuk pada berbagai aspek dari klien dan lingkungannya yang memudahkan pemulihan terlepas pada partisipasi formal pada terapi. Penelitian faktor extratherapeutic menjelaskan bahwa klien memerankan sebuah peranan penting. Dengan menjadi sadar akan peran penting bahwa kekuatan klien, kapabilitas, sumber daya, dukungan sosial dan kejadaian yang tidak disengaja yang merasuk masuk kedalam dan keluar dari kehidupan klien sehari-hari. Terapis sex dapat meningkatkan kontribusi mereka untuk hasil treatment.
Relationship factors: the client and therapist together
Ada pedoman untuk meningkatkan kontribusi hubungan antara klien dan terapis. Pedoman tersebut menyangkut :
·         Mengakomodasi treatment pada level motivasi dan kesiapan klien untuk melakukan perubahan
·         Mengakomodasi pandangan klien pada therapeutic alliance.

Placebo Factors: the role of hope and expectancy
Hasil studi menyatakan tingkat keberhasilan pada 75%-80% ketika laki-laki menkonsumsi obat, bahkan dalam populasi yang didirikan dalam organic pathology (Clinical Reviews Supplement,1998). Sementara tidak berarti obat harus ditahan, itu menegaskan kembali bahwa harapan dan ekspetasi bermain dalam treatment (Garfield, 1994). Lebih lanjut, hal itu menyarankan bahwa efek nyata atau actual dari berbagai pemberian treatment menjadi ditambah oleh faktor yang mempengaruhi placebo effects (Rodgers, 1982). Sugesti selanjutnya seharusnya tidak menjadi dianggap komprehensif atau exhaustive, yang juga mereka tidak memiliki beberapa kekuatan special curative pada diri mereka sendiri. Malah, nilai keseluruhan mereka berada disepanjang dimana mereka memudahkan dan sebuah ekspetasi positif bagi perubahan.




DAFTAR PUSTAKA

D. Corydon Hammond,Ph.D. and Robert F. Stahmann Ph.D. (1981), SEX THERAPY WITH LDS COUPLES. AMCAP JOURNAL.
Raie Goodwach. (2005), Sex Therapy: Historical Evolution Current Practice. Part I. Volume 26 Number 3. ANZJFT.

Stella Resnick, Ph.D. (2004), Somatic-Experiential Sex Therapy: A Body-Centered Gestalt Approach to Sexual Concerns. Gestalt Intl Study Center.

K aren M. Donahey and Scott D. Miller. (2004), Applying a Common Factors Perspective to Sex Therapy. Vol.11 No. 1. Psychoterapy In Australia.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar